Sang jarum pendek kala
itu menunjuk angka dua, masih sunyi, embunpun enggan menetes. Lamunanku kala
itu menjinakkan rasa takutku yang sering muncul kalaku terbangun seperti saat
ini. Melamunkan segala masalah, tentang desakan untuk segera menikah, tentang
kesedihanku pada ayah yang baru saja tiada, dan tentang ibu dan adikku yang
pergi begitu saja empat tahun yang lalu.
Lamunanku berujung
panjang hingga gema adzan membuatku tersadar. Sedikit tenang rasanya setelah
menunaikan ibadah, kupendam dalam-dalam pikiranku malam tadi agar bisa
berkonsentrasi pagi ini. Seperti sebuah rutinitas, sebelum berangkat kerja handphoneku
bergetar. Menandakan sebuah pesan masuk, dari seorang yang amat kucintai.
“Pagi udara! Semangat bekerja.”
Isi pesan tersebut
“Hello my shine! Semangat
juga yaa.” Jawabku singkat
Pengirim pesan tersebut ia
lah seorang yang selalu mengisi hidupku setahun belakangan ini, seseorang yang
dalam status sosialnya kusebut pacar. Pelabuhan hati yang inshaa allah menjadi
yang terakhir. Umur kami sudah matang saat ini dan masalah kemapanan tentu
sudah tak menjadi persoalan lagi. Seluruh sahabat dan keluarganya selalu
menanyakan hal yang sama.
“Kapan kalian akan
menikah?”
Ya, pertanyaan itu yang
menggangguku selama satu bulan terakhir ini. Dirga, kekasihku itu, sebenarnya
sudah melamarku 3 minggu yang lalu meskipun belum secara resmi. Bahkan ibu dan
ayahnya sudah mengutarakan pula hal tersebut pada saat aku berkunjung
kerumahnya. Tetapi lamarannya belum bisa kuterima karena aku masih dirundung
duka Ayah. Terlebih lagi, ibu dan adikku yang sudah 10 tahun tak lagi kudengar
kabarnya. Tak mungkin aku menikah saat ini, kecuali sudah kutemukan orang yang
kukasihi itu.
***
Sepuluh tahun yang lalu
ialah akhir dari rumah tangga keluargaku, ibu dan ayah harus berpisah. Waktu itu
umurku masih 13 tahun, usia seorang gadis yang sedang mencari jati dirinya. Sementara
adikku berjarak 5 tahun dariku, umurnya 8 tahun. Meskipun sudah cukup besar,
adikku saat itu sering sekali menangis, suara tangisannya yang besar sering
membuatku mengolok-oloknya dengan sebutan katak sambal mencubit pahanya
keras-keras. Hingga tak jarang kakinya beruam biru bekas cubitanku. Sebenarnya aku
paham benar semua yang terjadi antara ibu dan ayah, namun tak ada yang bisa
kulakukan. Setiap malam aku hanya terbangun dari tidurku, namun tetap bertahan
dibalik selimut mendengar semua kata-kata ibu dan ayah. Menangis, tanpa tahu
apa yang harus dilakukan. Hingga akhirnya sepulang sekolah, ibu dan adikku
menghilang dengan hanya meninggalkan sepucuk surat diatas meja.
“Aira baik-baik yaa sama
Ayah.”
***
Kudengar dari budeku,
mungkin ibu dan adik berada dirumah eyangku di Jogyakarta, dijalan Bumijolor
dekat stasiun Tugu. Kubulatkan tekad mengambil cuti selama satu minggu dari
kantor, mencari tahu keberadaan ibu dan adik untuk membujuk mereka hidup
bersamaku. Delapan jam kuhabiskan waktu seorang diri didalam kereta hingga badanku
begitu kaku, karna takbiasa melakukan perjalanan jauh sepertinya. Setiba disana,
hari sudah larut malam, kuputuskan untuk menginap disebuah hotel yang tak jauh
dari stasiun.
Dengan mengandalkan
secarik kertas bertuliskan sebuah alamat dari bude, kutempuh perjalanan dengan
menggunakan jasa becak. Suasana jogya yang begitu menyenangkan membuatku
terlena, membayangkan jika aku yang diajak ibu untuk hidup bersamanya di kota
ini.
“Assalamualaikum!” teriakku
sambal mengguncangkan selotan kunci gerbang hitam sebuah rumah.
“Mba… cari siapa? Ndak ada
orang dirumah itu” Suara seorang mengagetkanku.
“Ehh… yaa. Saya mencari
ibu Jarni bu, saya cucunya” Jawabku.
“Saya yang tinggal
disamping mba, saya dengar mba berteriak dari tadi. Kalo soal mbah itu sudah 8
bulan lalu mba beliau meninggal, cuma anaknya sesekali datang kesini hanya
untuk memeriksa dan membersihkan rumah.” Jawabnya memberikan penjelasan.
“Innalillahiwainnailaihi
rajin. Omong-omong ibu kenal anaknya? Namanya Ani kan bu?” tanyaku gugup.
“Hem bukan…. Saya kenal
betul keluarga ini, nama anaknya Reni. Setahu saya kalau ani sudah lama tidak
kemari, terakhir saat mbah meninggal. Bukannya ia tinggal dengan keluarganya di
Jakarta?”
“Jakarta?”
***
Tak banyak waktu yang
kuhabiskan di Jogjakarta, rasanya hampir putus asa sekaligus sakit hati. Ternyata
selama ini ibu masih tinggal di Jakarta. Lalu kenapa ia tak pernah
mengunjungiku? Klise-klise kenangan masa lalu membumbung dipikirannku. Menimbang
rasa rinduku pada ibu dan kekecewaanku atas sikapnya.
Berbekal informasi dari
tetangga-tetangga jogjakarta, kudapatkan informasi mengenai keberadaan ibu dan
adikku. Hari itu aku ditemani oleh Dirga, melewati jalan sempit di wilayah
harmoni, jakarta pusat. Suasanya disana cukup ramai, banyak anak-anak bermain
dan motor yang berlalu lalang memadati gang itu. Rasanya seperti dalam sinetron
picisan yang ditayangkan setiap hari, seluruh orang disekitar mengalihkan
perhatian pada kami, mungkin seharusnya kami menggunakan pakaian yang lebih
sederhana.
Hingga tiba disebuah rumah
kecil disamping sebuah sungai, seorang anak perempuan baru saja keluar dari
rumah tersebut dengan mengenakan pakaian SMA. Aku memandanginya dari jauh,
mungkin itu adikku… kupandangi punggungnya hingga iya berbelok dan menghilang. Highheels
yang kukenakan bergemeretak, seirama dengan gemetar kakiku. Dirga membopoh
pundakku, ia bagai tuas yang menahan tubuhku. Pintu berbahan triplek diketuk
oleh dirga sebanyak tiga kali.
“Assalamualaikum”. Tanyaku
gugup.
“Iya siapa ya?” Jawab
seorang wanita sambil membukakan pintu.
Wanita itu langsung
mendekapku erat tanpa berbasa-basi. Kurasakan kehangatan yang selama ini sering
bergelayut dalam mimpi-mimpiku, kurasakan perasaan rindu yang mendalam pada
dekapannya, kerinduan yang sama seperti milikku. Airmataku jatuh bertubi, ini
mungkin yang biasa orang sebut menangis bahagia.
“Ibu kok langsung
ngenalin aku?” tanyaku sambil terisak.
“Ibu selalu mencari tahu
kabarmu nak, Ibu selalu mengamati perkembanganmu. Ibu selalu memeriksa apa
ayahmu menjaga dan merawatmu dengan baik. Ibu bangga sekarang anak ibu sudah
besar, lulus dari universitas yang ternama, dan bekerja didalam gedung yang
nyaman” jawabnya sambil membelai rambutku.
“Aku menyayangi mu sekarang dan waktu aku tak
lagi bersama mu
aku menyayangi mu anak ku dengan ketulusan hati ku” Ucap Ibu dengan tulus.
aku menyayangi mu anak ku dengan ketulusan hati ku” Ucap Ibu dengan tulus.
Sudah tak mampu
kujelaskan lagi bagaimana bahagiaku. Seorang yang kukira membuangku ternyata
begitu amat memerdulikanku. Seorang yang mungkin selalu berdoa untuk segala
kebahagiaanku. Kini solah kebahagiaanku sudah sempurna, dengan Ibu disampingku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar