Selasa, 28 April 2015

Ibu


Sang jarum pendek kala itu menunjuk angka dua, masih sunyi, embunpun enggan menetes. Lamunanku kala itu menjinakkan rasa takutku yang sering muncul kalaku terbangun seperti saat ini. Melamunkan segala masalah, tentang desakan untuk segera menikah, tentang kesedihanku pada ayah yang baru saja tiada, dan tentang ibu dan adikku yang pergi begitu saja empat tahun yang lalu.
Lamunanku berujung panjang hingga gema adzan membuatku tersadar. Sedikit tenang rasanya setelah menunaikan ibadah, kupendam dalam-dalam pikiranku malam tadi agar bisa berkonsentrasi pagi ini. Seperti sebuah rutinitas, sebelum berangkat kerja handphoneku bergetar. Menandakan sebuah pesan masuk, dari seorang yang amat kucintai.
“Pagi udara! Semangat bekerja.” Isi pesan tersebut
“Hello my shine! Semangat juga yaa.” Jawabku singkat
Pengirim pesan tersebut ia lah seorang yang selalu mengisi hidupku setahun belakangan ini, seseorang yang dalam status sosialnya kusebut pacar. Pelabuhan hati yang inshaa allah menjadi yang terakhir. Umur kami sudah matang saat ini dan masalah kemapanan tentu sudah tak menjadi persoalan lagi. Seluruh sahabat dan keluarganya selalu menanyakan hal yang sama.
“Kapan kalian akan menikah?”
Ya, pertanyaan itu yang menggangguku selama satu bulan terakhir ini. Dirga, kekasihku itu, sebenarnya sudah melamarku 3 minggu yang lalu meskipun belum secara resmi. Bahkan ibu dan ayahnya sudah mengutarakan pula hal tersebut pada saat aku berkunjung kerumahnya. Tetapi lamarannya belum bisa kuterima karena aku masih dirundung duka Ayah. Terlebih lagi, ibu dan adikku yang sudah 10 tahun tak lagi kudengar kabarnya. Tak mungkin aku menikah saat ini, kecuali sudah kutemukan orang yang kukasihi itu.
***
Sepuluh tahun yang lalu ialah akhir dari rumah tangga keluargaku, ibu dan ayah harus berpisah. Waktu itu umurku masih 13 tahun, usia seorang gadis yang sedang mencari jati dirinya. Sementara adikku berjarak 5 tahun dariku, umurnya 8 tahun. Meskipun sudah cukup besar, adikku saat itu sering sekali menangis, suara tangisannya yang besar sering membuatku mengolok-oloknya dengan sebutan katak sambal mencubit pahanya keras-keras. Hingga tak jarang kakinya beruam biru bekas cubitanku. Sebenarnya aku paham benar semua yang terjadi antara ibu dan ayah, namun tak ada yang bisa kulakukan. Setiap malam aku hanya terbangun dari tidurku, namun tetap bertahan dibalik selimut mendengar semua kata-kata ibu dan ayah. Menangis, tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Hingga akhirnya sepulang sekolah, ibu dan adikku menghilang dengan hanya meninggalkan sepucuk surat diatas meja.
“Aira baik-baik yaa sama Ayah.”
***
Kudengar dari budeku, mungkin ibu dan adik berada dirumah eyangku di Jogyakarta, dijalan Bumijolor dekat stasiun Tugu. Kubulatkan tekad mengambil cuti selama satu minggu dari kantor, mencari tahu keberadaan ibu dan adik untuk membujuk mereka hidup bersamaku. Delapan jam kuhabiskan waktu seorang diri didalam kereta hingga badanku begitu kaku, karna takbiasa melakukan perjalanan jauh sepertinya. Setiba disana, hari sudah larut malam, kuputuskan untuk menginap disebuah hotel yang tak jauh dari stasiun.
Dengan mengandalkan secarik kertas bertuliskan sebuah alamat dari bude, kutempuh perjalanan dengan menggunakan jasa becak. Suasana jogya yang begitu menyenangkan membuatku terlena, membayangkan jika aku yang diajak ibu untuk hidup bersamanya di kota ini.
“Assalamualaikum!” teriakku sambal mengguncangkan selotan kunci gerbang hitam sebuah rumah.
“Mba… cari siapa? Ndak ada orang dirumah itu” Suara seorang mengagetkanku.
“Ehh… yaa. Saya mencari ibu Jarni bu, saya cucunya” Jawabku.
“Saya yang tinggal disamping mba, saya dengar mba berteriak dari tadi. Kalo soal mbah itu sudah 8 bulan lalu mba beliau meninggal, cuma anaknya sesekali datang kesini hanya untuk memeriksa dan membersihkan rumah.” Jawabnya memberikan penjelasan.
“Innalillahiwainnailaihi rajin. Omong-omong ibu kenal anaknya? Namanya Ani kan bu?” tanyaku gugup.
“Hem bukan…. Saya kenal betul keluarga ini, nama anaknya Reni. Setahu saya kalau ani sudah lama tidak kemari, terakhir saat mbah meninggal. Bukannya ia tinggal dengan keluarganya di Jakarta?”
“Jakarta?”
***
Tak banyak waktu yang kuhabiskan di Jogjakarta, rasanya hampir putus asa sekaligus sakit hati. Ternyata selama ini ibu masih tinggal di Jakarta. Lalu kenapa ia tak pernah mengunjungiku? Klise-klise kenangan masa lalu membumbung dipikirannku. Menimbang rasa rinduku pada ibu dan kekecewaanku atas sikapnya.
Berbekal informasi dari tetangga-tetangga jogjakarta, kudapatkan informasi mengenai keberadaan ibu dan adikku. Hari itu aku ditemani oleh Dirga, melewati jalan sempit di wilayah harmoni, jakarta pusat. Suasanya disana cukup ramai, banyak anak-anak bermain dan motor yang berlalu lalang memadati gang itu. Rasanya seperti dalam sinetron picisan yang ditayangkan setiap hari, seluruh orang disekitar mengalihkan perhatian pada kami, mungkin seharusnya kami menggunakan pakaian yang lebih sederhana.
Hingga tiba disebuah rumah kecil disamping sebuah sungai, seorang anak perempuan baru saja keluar dari rumah tersebut dengan mengenakan pakaian SMA. Aku memandanginya dari jauh, mungkin itu adikku… kupandangi punggungnya hingga iya berbelok dan menghilang. Highheels yang kukenakan bergemeretak, seirama dengan gemetar kakiku. Dirga membopoh pundakku, ia bagai tuas yang menahan tubuhku. Pintu berbahan triplek diketuk oleh dirga sebanyak tiga kali.
“Assalamualaikum”. Tanyaku gugup.
“Iya siapa ya?” Jawab seorang wanita sambil membukakan pintu.
Wanita itu langsung mendekapku erat tanpa berbasa-basi. Kurasakan kehangatan yang selama ini sering bergelayut dalam mimpi-mimpiku, kurasakan perasaan rindu yang mendalam pada dekapannya, kerinduan yang sama seperti milikku. Airmataku jatuh bertubi, ini mungkin yang biasa orang sebut menangis bahagia.
“Ibu kok langsung ngenalin aku?” tanyaku sambil terisak.
“Ibu selalu mencari tahu kabarmu nak, Ibu selalu mengamati perkembanganmu. Ibu selalu memeriksa apa ayahmu menjaga dan merawatmu dengan baik. Ibu bangga sekarang anak ibu sudah besar, lulus dari universitas yang ternama, dan bekerja didalam gedung yang nyaman” jawabnya sambil membelai rambutku.
“Aku menyayangi mu sekarang dan waktu aku tak lagi bersama mu 
aku menyayangi mu anak ku dengan ketulusan hati ku” Ucap Ibu dengan tulus.
Sudah tak mampu kujelaskan lagi bagaimana bahagiaku. Seorang yang kukira membuangku ternyata begitu amat memerdulikanku. Seorang yang mungkin selalu berdoa untuk segala kebahagiaanku. Kini solah kebahagiaanku sudah sempurna, dengan Ibu disampingku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar